Sabtu, 02 April 2011

PENGADUAN KONSTITUSI/CONSTITUTIONAL COMPLAINT

MENALAR CELAH “CONSTITUTIONAL COMPLAINT”
DI MAHKAMAH KONSTITUSI
Oleh
Bagus Oktafian A

Pendahuluan
Terdapat tiga fungsi kekuasaan yang dikenalkan oleh Baron Montesquieu (1689-1785) yang terdapat dalam teori hukum maupun politik, yaitu fungsi legislatif, eksekutif, dan yudisiil yang dikenal dengan trias politica. Fungsi kekuasaan negara ini dilembagakan masing-masing dalam tiga organ negara. Satu organ hanya menjalankan satu fungsi dan tidak boleh saling mencampuri urusan masing-masing dalam arti mutlak (separation of power).
Konsepsi tersebut tidak relevan lagi dewasa ini, karena secara faktual menunjukkan bahwa hubungan antar cabang lembaga negara tersebut harus ada, ketiganya sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain sesuai dengan prinsip check and balances dan prinsip negara demokrasi. Ketiga lembaga tersebut saling berbagi kekuasaan (distribution of power).
Dalam negara demokrasi, konstitusi dibuat selain untuk mengatur hubungan antar lembaga negara juga mengatur hak-hak warga negara. Konstitusi sebagai hukum dasar yang utama dan merupakan hasil representatif kehendak seluruh rakyat, haruslah dilaksanakan dengan sungguh-sungguh di setiap sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, prinsip yang timbul adalah setiap tindakan, perbuatan, dan/atau aturan dari semua otoritas yang diberi delegasi oleh konstitusi, tidak boleh bertentangan dengan basic rights dan konstitusi itu sendiri.

Mahkamah Konstitusi sebagai The Guardian of The Constitutions
Hasil amandemen ketiga UUD 1945, telah melahirkan sebuah lembaga yang berfungsi sebagai pengawal konstitusi (the guardian of the constitution), yaitu Mahkamah Konstitusi yang mempunyai kedudukan setara dengan Mahkamah Agung serta terpisah (duality of jurisdiction) dengan Mahkamah Agung. Konstitusi lahir dari paham konstitusionalisme yang berintikan pada jaminan hak konstitusional warga negara dan pembatasan kekuasaan. Jaminan hak konstitusional merupakan konsekuensi logis dari pengakuan bahwa kekuasaan tertinggi atau kedaulatan suatu negara berada di tangan rakyat serta tujuan pembentukan negara untuk kepentingan rakyat. Sebagai hukum tertinggi, tentu konstitusi harus dihormati. Tidak ada satu pun ketentuan hukum, tindakan penyelenggara negara, bahkan tindakan warga negara yang boleh bertentangan dengan konstitusi.
Dalam menjalankan fungsinya mengawal konstitusi, berdasarkan Pasal 24C UUD Negara RI Tahun 1945 juncto Pasal 10 Undang-undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Mahkamah mempunyai 4 (empat) kewenangan dan 1 (satu) kewajiban dengan perincian sebagai berikut: menguji undang-undang terhadap UUD (judicial review), memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden (impeachment).
Dengan adanya mekanisme pengujian peraturan perundang-undangan yang berpuncak pada konstitusi,sesungguhnya dapat dicegah adanya tindakan atau keputusan penyelenggara negara yang melanggar hak konstitusional warga negara. Namun hal itu tidak menutup kemungkinan masih adanya tindakan atau keputusan penyelenggara negara yang melanggar hak konstitusional warga negara.
Hal itu dapat terjadi paling tidak karena tiga sebab . Pertama, pejabat penyelenggara negara sebagai pemegang kekuasaan tertentu memiliki kesempatan melakukan penyalahgunaan kekuasaan, baik secara sengaja maupun karena kelalaian. Kedua,terdapat banyak ketentuan hukum yang dalam pelaksanaannya membutuhkan penafsiran dan penyesuaian dengan kondisi nyata dari aparat pelaksana.
Penafsiran yang dilakukan aparat dapat saja keliru dan mengakibatkan terjadinya pelanggaran hak konstitusional warga negara. Ketiga, salah satu ciri negara modern adalah negara kesejahteraan yang memberikan kebebasan bertindak kepada pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Biasanya tindakan itu dimaksudkan untuk meningkatkan pembangunan ekonomi yang tidak jarang berdampak pada terjadinya pelanggaran hak konstitusional warga negara.

Urgensi Constitutional Complaint
Pelanggaran hak konstitusional warga negara dalam ketentuan aturan hukum dapat diluruskan melalui mekanisme judicial review. Isu tentang urgensi constitutional complaint lahir dari pertanyaan mekanisme apa yang dapat ditempuh untuk tindakan atau keputusan penyelenggara negara yang melanggar hak konstitusional warga negara? Bagaimana jika tidak ada ketentuan hukum yang dilanggar, tetapi nyata-nyata melanggar hak konstitusional warga negara? Bagaimana pula jika terjadi kesalahan penafsiran dan penerapan hukum oleh hakim dalam proses peradilan yang dilalui dari tingkat pertama hingga terakhir? Pertanyaan-pertanyaan tersebut mengemuka karena pentingnya perlindungan terhadap hak konstitusional warga negara, terutama hak dan kebebasan dasar yang dijamin konstitusi.
Salah satu Mahkamah Konstitusi yang pertama kali menerapkan dan mengembangkan kewenangan constitutional complaint adalah Mahkamah Konstitusi Federal Jerman (Bundesverfassungsgerichts) . Kewenangan yang didasari pada Pasal 93 ayat (1) butir 42 Grundgesetz Bundersrepublik Deutchland tersebut, menurut Jutta Limbach, merupakan kewenangan terpenting yang kini dimilki oleh Bundesverfassungsgerichts, dimana hingga saat ini lebih dari 146.539 permohonan telah diperiksa oleh Bundesverfassungsgerichts dan 141.023 diantaranya adalah permohonan mengenai constitutional complaint.


Epilog

Dengan demikian, akan terselenggara pemerintahan yang demokratis dibawah rule of law adalah dengan adanya perlindungan konstitusional, dalam arti bahwa konstitusi selain menjamin hak-hak individu, juga menentukan pula cara prosedur untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin tersebut.
Seyogyanya jika instrumen ini telah nyata menjadi salah satu kewenangan Mahkamah, maka dapat kita prediksi bahwa Mahkamah akan kebanjiran permohonan mengenai constitutional complaint, sebab hingga saat ini disinyalir begitu banyak hasil warisan kebijakan publik yang dianggap telah melangkahi basic rights warga negara Indonesia.
Sebagai perbandingan, menurut keterangan Prof. DR. Dieter Umbach di sela-sela dialognya yang bertema ”The Constitutional Complaint at The Constitutional Court” di Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada November yang lalu, negara Jerman yang relatif stabil di dalam sistem ketatanegaraannya, hampir setiap tahunnya masih harus memeriksa kurang lebih 5.000 permohonan constitutional complaints. Maka dapat kita bayangkan, dalam mengejar angan tersebut, selain membutuhkan kesiapan yang cukup matang, sebenarnya sangat membutuhkan dukungan dari berbagai stakeholder bangsa ini. Oleh karena itu, sebagai batasannya, menurut penulis sebaiknya permohonan constitutional complaint baru dapat diperiksa jikalau upaya-upaya hukum yang tersedia telah habis (exhausted).
Mungkinkah di masa yang akan datang kita dapat menuai hasil constitutional complaint? Jawabannya akan ditentukan dari sejauh mana para stakeholder bangsa ini mampu memaknai seberapa urgent dan pentingnya kewajiban negara dalam melindungi basic rights setiap warga negaranya sendiri.